Archive for the ‘dialog’ Category

Intikali Itu Mencintai dan Tak Perlu Dicintai

X: Hai Sobat! Aku boleh tanya ga?
Y: Tanya? Tentang apa?
X: Intikali itu apa?
Y: Intikali?
X: Ya, intikali itu apa? Banyak yang membicarakan intikali. Aku penasaran nih.
Y: Um … begitu ya. Intikali itu …
X: Ayo, apa?
Y: Kesalahan pertama yang kau lakukan adalah bertanya “apa itu intikali?”
X: Heh? Kug bisa?
Y: Intikali itu hanya dapat dirasakan, jadi mana mungkin aku bisa menjelaskannya kepadamu.
X: Ah, jahat sekali sih kamu. Ayo ta beritahu aku “intikali itu apa?”
Y: Aku ‘kan udah bilang.
X: Pasti kamu bo’ong.
Y: Intikali itu ga bisa didefinisikan oleh kata-kata.
X: Aneh.
Y: Ya memang aneh. Begitulah intikali.
(seraya, ada Z yang ikut nimbrung dalam percakapan)
Z: Intikali?
X: Z, kamu tahu ga intikali itu apa?
Z: (dengan sok tahu) inti itu ya inti, kali itu ya sungai; berarti intikali itu air.
Y: (tersenyum)
X: Y, apa benar apa yang dikatakan Z?
Y: Menurutmu?
X: Aku ga tahu.
Y: Gini aja, ga usah susah-susah, kamu brosing aja di Google.
X: (membuka Opera Mini, lalu brosing)
Y: (tersenyum)
Z: (dengan ekspresi kayak orang marah)Intikali itu tahi.
Y: (hanya tersenyum melihat ekspresi Z)
X: Mana Y, aku kug malah bingung sih pas baca di Google.
Y: Yup, ga semua orang dapat dengan mudah menikmati intikali.

***

X: Hai, Y! Ayo lah beritahu aku tentang intikali.
Y: Aku ‘kan pernah bilang, intikali itu sulit dijelaskan oleh kata-kata. Intikali itu hanya dapat dirasakan.
X: Ayo lah. (dengan sedikit merayu)
Y: Oke lah, intikali itu … mencintai tanpa mengharap dicintai.
X: Hah, kug bisa?
Y: Ya bisa aja lah.
X: Kug aneh sekali.
Y: Ya memang aneh.
X: Lalu gimana bisa kita mencintai tanpa mengharap dicintai?
Y: Ya bisa lah. Ini timbul ketika kita lebih memilih mempertahankan prinsip daripada memenuhi hasrat cinta kita.
X: Tapi … bukankah kekuatan cinta itu lebih kuat dari segalanya.
Y: Kata siapa?
X: Sebagian besar ‘kan emang kayak gitu?
Y: Sebagian besar ‘kan, berarti ga berlaku untuk semua.
X: Tapi sulit sekali kayak gitu.
Y: Yupz.
X: Tapi apa kau bisa kayak gitu? Mencintai tanpa dicintai.
Y: Ya bisa lah.
X: Apa buktinya?
Y: Aku pernah mengalaminya. Dan itulah asal dari intikali.
X: Benarkah?
Y: Yup.
X: Ayo lah ceritakan ke aku.
Y: Ini bermula ketika aku masih duduk di kelas 3 SMA.
X: Kamu mencintai seorang cewek?
Y: Ya.
X: Trus … trus??
Y: Aku mencintai dan hanya mencintai.
X: Kug bisa? Kamu ga menyatakan cintamu padanya?
Y: Ya ga lah.
X: Loh kenapa?
Y: Aku punya sebuah prinsip. Tak ‘kan pernah pacaran.
X: Hah, kenapa?
Y: Ya itulah sebuah prinsip. Kalo kamu? Apa prinsipmu?
X: (berpikir)
Y: Jangan-jangan ga punya? (dengan sedikit tawa)
X: Iya ya, aku ga punya prinsip.
Y: Wah wah …
X: Tapi … kita kan boleh punya banyak prinsip.
Y: Prinsip boleh banyak tapi ga boleh berubah.
X: Kenapa?
Y: Kalo terus berubah, itu bukan prinsip namanya.
X: Iya ya. Oh, ya, terusin lagi dums critamu.
Y: Sebenarnya se aku udah bikin prinsip ini sejak kelas 2 SMP.
X: Wah, lama amat yah.
Y: Begitulah.
X: Terus-terus …
Y: Dan aku memegang prinsip itu sampai sekarang.
X: Sampai sekarang? Berarti kamu ga pernah pacaran dums?
Y: Ya begitulah.
X: Terus … gimana? Ga kawin?
Y: Ya kawin lah.
X: Katanya ga mau pacaran?
Y: Bukan berarti ga pacaran ga kawin. Bukankah ga perlu pacaran dulu jika kawin.
X: Iya se. Terus-terus, kau apa pernah mencintai gitu?
Y: Ya pernah lah. Itu sudah wajar.
X: Kenapa kamu ga pacaran kalo kamu cinta?
Y: Karena aku lebih mencintai prinsipku untuk ga pacaran.
X: Terus …. kasian banget cewek yang kamu cintai.
Y: Ya ga lah.
X: Tapi …. apa dia tahu kalo kamu suka ma dia?
Y: Mungkin.
X: Kug mungkin?
Y: Ya ‘kan aku ga pernah nanyain langsung ke cewek itu.
X: Terus … Apa kamu tahu di mana dia sekarang?
Y: Ya tahu lah.
X: Apa dia udah punya cowok?
Y: Udah.
X: Kamu tahu dari mana?
Y: Aku banyak tahu tentangnya.
X: Um begitu ya.
Y: Yupz.
X: Apa kamu ga tersiksa dengan “mencintai tanpa dicintai”?
Y: Ya tersiksa sih.
X: Kenapa ga kamu tembak aja dia?
Y: Tapi … jika aku lakukan hal yang seperti kau katakan, aku akan lebih menderita lagi.
X: Kug bisa?
Y: Aku akan kehilangan diriku.
X: Kehilangan?
Y: Ya, kehilangan. Kehilangan apa yang aku banggakan.
X: Um … (mencoba memahami) Memang sejak kapan kamu mencintai anak itu?
Y: Sejak SD.
X: Hah … Lama banget. Kug bisa seperti itu?
Y: Ya bisa lah, kamu pernah dengar sebuah syair yang “Bagaimana mungkin seorang pecinta melupakan kekasihnya, sedangkan namanya telah terukir dalam hati”
X: Berarti dia udah terukir dalam hatimu?
Y: Begitulah.

(dialog ini adalah dialog-ku dengan seorang temanku; ada sedikit yang kuubah, kuhilangkan, kutambah; namun, intinya seperti dialog di atas)

johnterro, intikalis-kiri